Trigger Warning
Posting ini akan membahas topik-topik seperti depresi dan bunuh diri. Jika anda berada dalam bahaya langsung, hubungi 119. (Saluran Darurat Indonesia)
Find Help
Cari Bantuan
Baca dalam Bahasa Indonesia
Read in English

Ketika tanggal kadaluarsa hidup lebih dekat dari yang diduga: penyakit autoimun dan depresi

Beberapa bulan yang lalu, saya pergi ke klinik dokter dan diberitahu bahwa kondisi hati saya tidak membaik.

Keluarga saya memiliki sejarah penyakit autoimun yang tidak bisa disembuhkan. Dari satu generasi ke generasi lain, gejalanya muncul semakin awal. Nenek saya pertama mengalami gejalanya pada usia 40, ayah saya pada usia 30, dan saya semuda usia 21.

Saya jadi tidak bisa keluar rumah, harus cek darah setiap minggu, melakukan pemeriksaan MRI berkali-kali, dan minum banyak obat. Saya diminta menjalani perawatan di rumah sakit selama dua minggu sembari mereka membersihkan hati saya. Pengalaman ini sangat menakutkan karena saat itu ujian-ujian semakin dekat dan banyak tenggat waktu di mana-mana. Saya harus meminta izin dan penyesuaian untuk disabilitas supaya saya tidak tertinggal secara akademis karena untuk keluar dari kuliah, itu bukanlah pilihan.

Setelah keluar dari rumah sakit, kehidupan sosial saya juga berubah. Rasanya seperti mengubah kebiasaan buruk dengan tidak memesan kopi, menghindari makanan berlemak, meningkatkan konsumsi serat, berolahraga rutin, dan keluar dari budaya minum-minum mahasiswa. Lebih lagi, saya harus berurusan dengan obat penawar rasa sakit yang menyebabkan efek samping yang sangat tidak enak. Perut saya sakit seakan-akan ditusuk seribu pisau. Saya jadi sangat mual dan yang terakhir, tulang belakang saya mengalami herniasi di dua tempat, sehingga ketika sedang kambuh, saya hanya bisa terbaring di tempat tidur tak berdaya. Bergerak sedikit saja akan membuat saya kesakitan.

Masalahnya, yang menjadi penyebab depresi saya bukanlah perubahan gaya hidup maupun rasa sakit, melainkan pemikiran bahwa saya kembali menjadi beban bagi banyak orang.

Seumur hidup saya, saya selalu membuat orang lain terjaga di malam hari, memaksa mereka mengambil cuti berminggu-minggu dan membuat mereka khawatir. Saya melihat ibu saya menangis di samping tempat tidur, saya melihat kantung hitam di sekitar mata ayah saat dia berangkat kerja setelah semalam pergi ke unit gawat darurat, saya melihat adik kakak saya mempertanyakan agama selama saya terus berjuang di rumah sakit.

Sudah cukup susah bagi saya untuk melihat orang tuaku yang tidak pernah memilih membesarkan seorang anak dengan begitu banyak masalah kesehatan harus menderita hanya karena membesarkan saya, atau melihat adik kakak yang tidak memilih lahir jadi saudaraku melalui sakitnya mengetahui bahwa cepat atau lambat mereka akan kehilangan saya. Tetapi sekarang, saya juga menjadi beban bagi orang yang memilih berada di sisi saya. Mungkin dia tidak tahu, tapi saya sungguh menghargai dia lebih dari yang saya tunjukkan. Masalahnya, dia punya pilihan, dan saya hanya berharap dia memilih untuk meninggalkan saya. Sulit bagi saya untuk melihat dia untuk mengatur jam kerjanya yang berat dan memeriksa ulang data saya, tidur di sisi saya di atas sofa yang tidak nyaman, menggendong saya ke kamar mandi dan melihat saya saat dengan penampilan paling jelek. Melihatnya kurang tidur, kelelahan, dan luar biasa khawatir setiap saat sangat mengganggu saya. Dia bilang dia mencintai saya, tapi tidak bisakah dia mencintai orang lain?

Begitulah, menjadi beban; itulah yang paling menyakiti saya.

Pemikiran bahwa orang-orang yang mencintai saya tersakiti karena mereka mencintai saya. Pemikiran bahwa mereka berpegang pada saya, tetapi bagaimana jika mereka kehilangan saya? Berapa lama waktu yang mereka butuhkan untuk kembali bergerak lagi dan menjalani hidup yang lebih bahagia? Saya khawatir, apakah mereka bisa menemukan rasa damai untuk melepaskan saya dan tidak membiarkan lubang di hati mereka mengalihkan mereka dalam perjalanan mereka. Tatapan mereka saat melihatmu, seakan-akan kamu adalah harapan yang tidak memenuhi ekspektasi mereka.

Lama sekali saya ingin bunuh diri, dan saya bohong jika saya bilang saya baik-baik saja sekarang.

Kita semua tahu kita makhluk yang fana, tetapi saat tanggal kadaluarsamu jatuh lebih cepat, kamu jadi memikirkan, apakah pantas menunggu kematian, atau haruskah saya mengambil tindakan sendiri? Biarlah mereka yang mencintai saya berpindah lebih dulu, biar tidak menghancurkan hidup mereka di masa-masa yang lebih penting dan memberikan mereka dorongan dari awal untuk melepaskan saya.

Nah, saya tidak mau meninggalkan blog post ini dengan membuat kamu mengkontemplasikan hidup. Saya di diagnosis mengalami depresi klinis dan mencari bantuan sebisa mungkin. Saya menemukan seorang psikolog, psikiater, dan beberapa kelompok dukungan. Saya sangat menyederhanakan proses ini karena blog post ini akan jadi terlalu panjang jika saya ceritakan dengan sangat rinci semua aspek dari mencari bantuan dengan benar, tetapi saya membutuhkan waktu cukup lama untuk menemukan kombinasi yang tepat untuk jadi baik-baik saja.

Satu hal yang saya bisa berikan padamu, baik yang sedang melalui kemoterapi, lahir dengan fibrosis sistik, maupun yang berjuang melawan penyakit yang tidak ada obatnya; bagi mereka yang memiliki bom waktu di atas kepala mereka: biarkan dirimu dicintai.

Saya tahu, tidak ada orang yang mau jadi beban, tetapi jika perannya ditukar, akankah kamu melakukan hal yang sama?

Setidaknya saya bisa berjuang untuk hidup bagi mereka. Memberikan mereka keajaiban yang mereka minta, dan meski di dalam pikiran saya mungkin lebih baik bagi saya untuk pergi, saya tahu saya bisa menghabiskan sisa waktu saya membantu membuat melepaskan saya lebih mudah bagi mereka, baik dengan berbicara, menyiapkan, atau memastikan mereka akan baik-baik saja secara emosional ketika saya benar-benar pergi.

"Satu hal yang saya bisa berikan pada anda ... biarkan dirimu dicintai."

Tahun 2019 ini, saya memiliki sebuah resolusi. Saya akan memandang hidup seperti ini:  saya punya kesempatan langka untuk hidup seakan-akan besok adalah hari terakhir hidup saya. Orang-orang biasanya menyebarkan kata mutiara tentang ini, tapi ini realitas hidup saya. Bangun setiap hari dan berusaha sebaik mungkin untuk hidup secara maksimal, tidak mempedulikan apapun yang orang lain pikirkan dan tetap mencintai sebanyak mungkin, sebelum saya pergi.

Saya masih minum banyak obat setiap pagi (termasuk obat penenang), masih menghindari makanan berlemak, masih bangun pagi untuk olahraga, masih harus cek darah setiap dua minggu, dan masih mengalami rasa sakit yang melumpuhkan. Akan tetapi, saya masih bertahan karena, ya… saya bisa kehilangan apa juga? ;)


Pelajari depresi dan lebih lanjut tentang depresi di Seribu Tujuan