“Ih, fotonya bagus bangett! Pentesan like nya banyakk”. Secara tidak sadar, sering kali pikiran seperti ini terlontar saat scrolling instagram. Tidak hanya itu,bahkan kita juga mencari tahu, bagaimana foto tersebut bisa mendapat like dalam jumlah yang besar, “ini dia foto dimana yaa?”, “lightingnya pasnih”, dan masih banyak lagi. Maka tak heran jika dilihat dari penggunaan instagram saat ini, instagram lebih fokus pada representasi diri dan promosi daripada membangun hubungan.

Indonesia adalah negara nomor 4 di dunia dengan pengguna instagram terbanyak. Menurut data yang dirilis oleh Napoleon Cat jumlahpengguna yang ada di Indonesia sebanyak 69,2 juta pengguna dan instagram menjadi salah satu media sosial yang digemari oleh masyarakat. Walapun begitu,ternyata instagram merupakan media sosial paling buruk untuk kesehatan mental.

Salah satu fitur yang ada di instagram dan menjadi pemicu gangguan kesehatan mental adalah fitur “like”. Jumlah likes dan komentar ini bisa disebut juga sebagai quantifiable social endorsement, yaitu bentuk dukungan sosial yang terukur (Sherman, Payton, Hernandez,Greenfield & Dapretto, 2016). Nah, karena ini adalah sesuatu yang dianggap terukur, maka tak sedikit pengguna yang berlomba-lomba agar foto yang diunggahnya mendapat like yang banyak. Ketika mendapat like dalam jumlah yang besar, maka seseorang akan merasa dirinya diakui dan mendapat popularitas. Namun, berbeda halnya dengan orang yang hanya mendapat sedikit like, akan muncul perasaan cemas, gelisah, dan tidak diakui atau bisa disebut juga dengan social media anxiety disorder, yaitu seseorang akan merasa terganggu apabila jumlah follower atau jumlah orang yang berkomentar dan menyukai postingannya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, sehingga lebih seperti terobsesi dengan media sosial.

Obesesi yang berlebihan terhadap jumlah like juga dapat menyebabkan addiction yaitu kecanduan untuk mengunggah sesuatu atau mengecek media sosialnya dan membuat status di media sosial setiap saat. Sayangnya, tidak semua pengguna yang menyadari hal itu. Bahkan, instagram seringkali digunakan sebagai tempat pelarian ketika gabut dan inilah yang terjadi secara terus menerus hingga kecanduan tersebut terulang dan ancaman gangguan kesehatan mental lainnya pun datang. Addiction ini ditandai dengan banyaknya waktu yang habis terbuang hanya untuk scrolling instagram, tidak dapat mengontrol waktu penggunaan instagram, gelisah, murung,dan tertekan.

Tak jarang demi mendapatkan jumlah like yang banyak, seseorang bisa melakukan manipulasi untuk sesuatu yang diunggahnya. Salah satu manipulasi yang saat ini banyak dilakukan dan dianggap biasa adalah penggunaan filter yang dapat membuat wajah lebih merona dari biasanya. Tidak hanya itu, banyak cara lain yang dapat ditempuh seseorang dalam melakukan manipulasi, diantaranya adalah menciptakan obsesi mengenai kesempurnaan diri dan rela menghabiskan banyak waktu untuk terlihat sempurna di media sosial, hal ini bisa menyebabkan Obsessive Compulsive Disorder (OCD). Selain itu, seseorang juga hobi mengarang cerita tragis mengenai kehidupannya sendiri untuk mendapatkan perhatian orang lain, gangguan seperti ini disebut dengan Munchausen Syndrome. Perilaku ini dilakukan agar pengguna lainnya bisa memberi tanda suka pada unggahannya.

Jumlah pengguna instagram yang termasuk pada golongan usia remaja cukup mendominasi di Indonesia. Remaja secara kognitif dan emosional belum mampu mengolah informasi perbandingan sosial dan feedback yang diterima secara bijak. Sehingga tak bisa dipungkiri dapat terjadi perbandingan sosial yang berlebihan pada pengguna melalui jumlah like instagram untuk akun yang berbeda dan akan mengevaluasi diri secara buruk, yang akhirnya dapat menurunkan harga dirinya. Semakin banyak waktu yang remaja habiskan untuk mengakses instagram, maka kemungkinan melakukan perbandingan sosial dan jumlah feedback yang diterima remaja juga akan meningkat.

Namun pada dasarnya jika kita lihat kembali, instagram bukanlah media sosial yang sangat buruk, hingga mengancam kesehatan mental penggunanya. Semua itu, kembali lagi kepada kita sebagai penggunanya. Dalam artikel Forbes.com yang berjudul How To Use Your Instagram Account To Develop A Positive Mindset, terdapat dua cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi dan mencegah ancaman gangguan kesehatan mental, yaitu it’s nice to be important, but it is more important to be nice, jadikan akun Instagram sebagai alat untuk menyebarkan pentingnya kualitas dalam hubungan manusia danhal tersebut dapat membantu orang lain untuk merasa dihargai dan didukung. Sehingga dengan begitu kita tidak lagi mementingkan jumlah likes sebagai tolak ukur diakui dan dihargainya seseorang. Keep your album of great personal moments, ada perbedaan besar antara akun instagram buatan yang menggambarkan kehidupan sebagai sempurna dan akun positif yang menunjukkan momen sempurna dalam hidup. Ketika semua pengguna telah menerapkan ini, maka kita tidak terpacu lagi untuk berlomba-lomba mendapatkan like sebanyak mungkin, dan melihat media sosial juga sebagai bentuk kenyataan dari kehidupan.

Evelin, M. S. (2020). Hubungan IntensitasPenggunaan Instagram dan Self-Esteem pada Remaja.

Iman, M. (2020). Pengguna Instagram diIndonesia Didominasi Wanita dan Generasi Milenial. Retrieved fromhttps://www.goodnewsfromindonesia.id/

Magdalena Palang, H. W. (n.d.). Instagramsebagai Aplikasi Non Toxic dengan Informasi Positif dan Interkatif .

Nuraeni Aprilia Mondoano, R. M. (2018).Instagram dan Kesehatan Mental pada Mahasiswa Institut Agama Islam NegeriKendari. Analitika : Jurnal Magister Psikologi UMA.

Roberto Martinez-Pecino, M. G.-G. (2019).Likes and Problematic Instagram Use : The Moderating Role of Self-Esteem. Cyberpsychology,Behavior, and Social Networking.