Belajar
EN

Artikel ini membahas topik terkait kesehatan mental, termasuk self-harm, yang mungkin memicu rasa tidak nyaman bagi sebagian pembaca. Harap utamakan kesejahteraanmu sendiri dan baca materi ini dengan penuh kesadaran. Jika kamu atau seseorang yang kamu kenal sedang mengalami krisis atau memiliki pikiran untuk menyakiti diri sendiri dan/atau bunuh diri, segera cari bantuan dari tenaga profesional yang kamu percaya atau hubungi layanan dukungan setempat.

Jika kamu membutuhkan layanan darurat 24 jam di Indonesia, kamu bisa menghubungi:

Cari Bantuan
Kondisi Kesehatan Mental

Mengapa Orang Melukai Diri Sendiri?

Konten ini dikembangkan bersama yang telah memberikan kontribusi keahlian mereka melalui proses peer review dan masukan khusus untuk memastikan informasi yang komprehensif dan akurat.

Di halaman ini
Sumber

Alasan seseorang melakukan self-harm berbeda-beda pada setiap individu. Berikut adalah beberapa alasan umum yang sering dilaporkan:

Meredakan perasaan yang luar biasa

Banyak orang melaporkan bahwa mereka merasa lebih tenang setelah melukai diri. Inilah sebabnya mengapa self-harm sering dilakukan saat seseorang merasa sangat tertekan atau sedang menghadapi emosi yang menyakitkan.

Menghentikan disosiasi dan mati rasa

Disosiasi adalah perasaan seperti berada di luar tubuh, dunia terasa tidak nyata, dan/atau tidak merasakan apa-apa. Ini sering terjadi sebagai reaksi terhadap stres emosional atau pengalaman traumatis. Selain itu, orang dengan depresi dan gangguan mental lainnya juga bisa merasa mati rasa secara emosional. Self-harm dilaporkan membantu orang “terbangun” dari disosiasi dan “merasa hidup” saat mereka merasa mati rasa.

Memberi rasa kendali

Saat menghadapi situasi yang terasa di luar kendali, hal tersebut bisa terasa menakutkan. Banyak orang mengatakan bahwa self-harm membuat mereka merasa mengontrol hidup mereka sendiri, karena mereka bisa mengontrol tubuh fisik mereka.

Sebagai bentuk hukuman diri

Beberapa orang merasa bersalah setelah melakukan kesalahan dan merasa perlu menghukum diri sendiri. Self-harm sering dianggap sebagai bentuk menghukum diri.

Sebagai cara untuk meminta bantuan

Membicarakan perasaan dan memberi tahu orang lain bahwa kamu sedang berjuang bisa sangat sulit. Bekas luka dari self-harm bisa menjadi “bukti nyata” bahwa seseorang sedang kesulitan dan membantu mereka membuka percakapan tentang apa yang sedang mereka alami.

 

Apa kata penjelasan ilmiah?

Ada beberapa penjelasan ilmiah tentang mengapa orang melakukan self-harm:

  • Pengalaman masa kecil: Orang yang pernah mengalami kekerasan atau pengabaian emosional di masa kecil
  • Teori ‘pain offset relief’ (kelegaan setelah rasa sakit): Fenomena ini menunjukkan bahwa manusia bisa merasa euforia setelah mengalami rasa sakit fisik. Penjelasan fisiologisnya antara lain:
    1. Tubuh melepaskan endorfin (pereda nyeri alami) saat terluka.
    2. Endorfin berinteraksi dengan reseptor opiat di otak, yang mengurangi rasa sakit.
    3. Aktivasi reseptor ini dapat menciptakan rasa “ingin lagi”, yang bisa menyebabkan kecanduan.

Penjelasan ini mendukung beberapa hal berikut:

  • Mengapa banyak orang merasa lebih baik setelah self-harm.
  • Mengapa menghentikan self-harm bisa sulit — karena self-harm mungkin bersifat adiktif, sama seperti merokok, berjudi, minum alkohol, atau bahkan berolahraga berlebihan.

Miskonsepsi dan Stigma Tentang Self-Harm

“Self-harm cuma cari perhatian atau manipulatif”

Sebagian besar orang berusaha keras untuk menyembunyikan bekas luka self-harm, seperti mengenakan pakaian lengan panjang di cuaca panas. Ini karena self-harm adalah hal yang sangat pribadi dan sering disertai rasa malu. Meskipun bagi sebagian orang self-harm adalah cara untuk memberi tahu bahwa mereka butuh bantuan, ini tidak berarti mereka melakukannya untuk memanipulasi orang lain.

“Itu cuma fase, nanti juga berhenti sendiri”

Untuk banyak orang, self-harm sangat sulit untuk dihentikan dan bisa berlangsung lama. Menghentikan self-harm butuh lebih dari sekadar “berusaha lebih keras”, karena self-harm adalah respons terhadap rasa sakit emosional, bukan penyebab utamanya. Maka dari itu, untuk membantu seseorang berhenti self-harm, kamu perlu membantu mereka mengatasi penyebab yang mendasarinya — seringkali membutuhkan terapi atau pengobatan.

“Hanya kelompok tertentu yang melakukannya, ini cuma tren subkultur”

Banyak yang mengira self-harm hanya dilakukan oleh remaja perempuan atau bagian dari budaya “emo” atau “goth”. Faktanya, self-harm bisa dialami oleh siapa saja — tanpa memandang usia, jenis kelamin, latar belakang, atau budaya. Stigma semacam ini justru membuat orang yang membutuhkan bantuan merasa makin terisolasi.

Membedakan self-harm dengan suisidalitas

Self-harm tidak selalu berarti seseorang ingin bunuh diri. Istilah medisnya adalah “Non-suicidal self-injury” (NSSI). Sebagian besar tindakan self-harm tidak dilakukan dengan niat untuk mengakhiri hidup. Namun, self-harm memang berhubungan dengan peningkatan risiko bunuh diri di masa depan. Oleh karena itu, penting untuk menangani penyebab emosional dan psikologis yang mendorong seseorang melakukan self-harm.

Ingat: Self-harm bukan sekadar “cari perhatian”.

Meskipun ada penjelasan ilmiah tentang aspek fisiologis dan psikologis di balik perilaku ini, self-harm adalah perilaku kompleks yang sering kali berakar pada rasa sakit emosional yang mendalam. Memahami, mendengarkan tanpa menghakimi, dan mendorong terbukanya percakapan dapat membantu orang yang sedang berjuang menemukan cara coping yang lebih sehat — dan perlahan-lahan pulih.

DeAngelis, T. (2015, July). A new look at self-injury. Monitor on Psychology, 46(7). https://www.apa.org/monitor/2015/07-08/self-injury  

Franklin, J. C., Lee, K. M., Hanna, E. K., & Prinstein, M. J. (2013). Feeling worse to feel better: pain-offset relief simultaneously stimulates positive affect and reduces negative affect. Psychological science, 24(4), 521–529. https://doi.org/10.1177/0956797612458805 

Blasco-Fontecilla, H., Fernández-Fernández, R., Colino, L., Fajardo, L., Perteguer-Barrio, R., & de Leon, J. (2016). The Addictive Model of Self-Harming (Non-suicidal and Suicidal) Behavior. Frontiers in psychiatry, 7, 8. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2016.00008 

Corrigan, P. W., Rafacz, J., & Rüsch, N. (2011). Examining a progressive model of self-stigma and its impact on people with serious mental illness. Psychiatry research, 189(3), 339–343. https://doi.org/10.1016/j.psychres.2011.05.024

Hawton, K., Rodham, K., Evans, E., & Weatherall, R. (2002). Deliberate self harm in adolescents: self report survey in schools in England. BMJ (Clinical research ed.), 325(7374), 1207–1211. https://doi.org/10.1136/bmj.325.7374.1207

Law, G. U., Rostill-Brookes, H., & Goodman, D. (2009). Public stigma in health and non-healthcare students: Attributions, emotions and willingness to help with adolescent self-harm. International journal of nursing studies, 46(1), 108-119. https://doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2008.08.014 

Brown, R. C., Heines, S., Witt, A., Braehler, E., Fegert, J. M., Harsch, D., & Plener, P. L. (2018). The impact of child maltreatment on non-suicidal self-injury: data from a representative sample of the general population. BMC psychiatry, 18(1), 1-8. https://doi.org/10.1186/s12888-018-1754-3